Main Waktu

10.39 : kucoba menghubungimu, nada sibuk
10.43 : lagi, dan masih nada sibuk

Menahan diri untuk tidak kucoba hubungimu lagi.
Aku kalah.
Dasar lemah.

10.56
11.09
11.13
11.29
11.35
11.36
Masih kucoba lagi, lagi, dan, lagi…

11.43
Kamu terima teleponku. Akhirnya!
Tapi, ada yg lain…
Nada suaramu, terisak.
Menghela nafas panjang.
Kemudian terisak lagi.

“Kamu kenapa?” Kutanya.
Kamu bilang tidak ada apa – apa.
Walau aku sudah tau, ada sesuatu.

12.05
Cerita itu keluar dari mulutmu.
Perihal kenangan yang masih tertinggal.
Tentang perasaan yg belum selesai.
Untuk harapan yang terpaksa harus kamu pendam dalam – dalam.

Tangis yang tertahan.
Nafas yang tersengal.
Mencoba untuk menguatkan.

12.10
Kamu terdiam.
Menarik nafas panjang.
Teriak lepaskan asa yang dipaksa lupa.
Teriak bernyanyi dengan sesal yang masih mengikuti.

Setitik jatuh.
Mencoba lagi menguatkan.
Padahal rapuh.

Berusaha menenangkanmu.
Aku abaikan perasaanku.
Kesampingkan egoku.
Pedihmu, pedihku.

Berusaha keras untuk tidak bertanya
“Lalu apa artiku buatmu selama ini?”
“Aku kamu taruh di hati sebelah mana?”
Tapi terima kasih,
Tuhan masih menjaga mulutku.

Mungkin ini yang dimaksud lima dimensi.
Kamu bisa tahan dengan satu – dua.
Sudah, cukup 2 saja nama yg terlintas!

“Ikhlaskan”, kataku.
Kamu akan baik – baik saja.
Lucu, harusnya aku bicara begitu untuk diriku sendiri.

Karena kehidupan itu timbal balik.
Seperti bermain tenis dengan dinding. Memantul.
Kamu dapat apa yang kamu beri.

Ada masa di saat kamu ingin berhenti dan selesaikan semua.
Di saat merasa cukup sudah untuk rasa sakitnya.
Di saat kamu lelah menunggu tertahan kelu.
Di saat isi kepalamu hanya berputar di satu sumbu.
Di saat kamu ingin masuk ke kapsul luar angkasa dan mencari tempat tinggal baru.
Lewati putaran lubang hitam, menemukan planet baru dan tak ingin kembali ke bumi.
(Oke cukup dengan Nolan)

Di saat kamu jungkir balik mencintai.
Di saat candamu tak lagi terdengar lucu.
Di saat matamu yang kulihat, bukan lagi bayangku.
Di saat hatimu dibuat berdarah sampai teriak memohon ampun dengan Tuhanmu, di dalam sujudmu.

Kamu.
Masih di sepertiga malamku.
Memohon ampun atas dosaku dan dosamu.
Meminta-Nya hapus semua rasaku untuk kamu.
Ar-Ra’ad ayat 39.
Ku ulangi terus menerus, lagi dan lagi.
Sampai nanti Tuhan iba dan aku bisa kembali bahagia.

Bulan Ketiga

Waktu bergerak semakin cepat. Aku tak bisa berdiam terlalu lama menunggu disini. Tidak pasti. Setidaknya 16 bulan sepertinya sudah kuberikan yang terbaik walau pernah melukai. Setidaknya sudah kucoba 3 bulan ini untuk mempertahankan apa yg layak dipertahankan. Setidaknya aku pernah berusaha. Tapi, beberapa hal memang tidak bisa dipaksakan. Masa kita sudah habis.

Tapi aku tak bisa menunggu lagi.
Sama saja menyakiti diri sendiri.
Semua ini serius. Selama ini serius. Kalau saja kamu tahu.

Jangan putar lagu Dewa 19 – Kangen.
Kamu sama saja bunuh aku.

Re-quote

Tenang, aku masih pemilik hati yang menunggumu pulang. Meski kutahu dia lebih membuatmu merasa tertantang.

Masih Mencari Jalan Pulang

Kilometer 88 arah Bandung menuju Jakarta. 100 kilometer/jam saat itu, lajur pertama.

Aku berjanji datang menemuimu di sebuah tempat biasa kita bertemu.

Kuinjak gas ku lebih dalam, agar kamu tak terlalu lama menunggu. Karena esoknya kamu masih harus berangkat bekerja.

Cemas saat kulihat petunjuk arahku berwarna merah pertanda kemacetan.

Benar saja, macet.

Aku keluarkan sebatang rokok dan menghisap dalam – dalam untuk mengusir kebosanan.

Sudah pukul 7 malam, seharusnya aku sudah sampai Jakarta. Kamu pasti sudah menunggu.

Kita belum lama bertemu, tapi tentang rindu mana bisa kutahan.

Lemah

Pukul 2 dini hari, terbangun lagi. Mimpinya masih sama. Tentang kamu kesekian kali.

Banyak cara sudah kulakukan, tapi belum ada yang berhasil.

Tuhan janjikan akan datang yang lebih baik.

Doa di dalam sujudku masih tentang kamu. Aku tak menyangka bisa seburuk ini jadinya.

Aku harus sibuk dan menyibukkan diri. Untuk bisa lupakan kamu yang setiap detiknya tak pernah lepas dari pikiranku.

Tujuan

Mungkin sudah saatnya kita berbelok arah menuju tujuan masing2
Tujuanmu bukan aku.
Pun aku sendiri juga tidak tau apa yg kutuju.
Aku bukan hilang arah.
Hanya sedikit tersesat.

Aku hanya ingin pulang, tanpa ada kamu.
Tanpa ada sedikitpun tentang kamu.
Walaupun aku sadar bukan kamu yg terus mengikutiku.
Tapi aku yg mengikutimu.

Aku hanya ingin pulang, tanpa ada kamu.
Tanpa ada sedikitpun tentang kamu.
Aku cukup pintar untuk menilai.
Bahwa tidak ada aku di dalam sana.

Aku duduk di depan perapian.
Membakar semua lembaran kenangan.
Satu per satu, lembar demi lembar.
Melipat dan menyapu semua hal tentangmu.
Tekadku bukan menghilang karena lemah.
Aku cukup kuat kupikir.

Mereka pikir tujuan mereka itu aku.
Asal kau tau, aku selalu kembali padamu.
Tapi bodohnya kamu tidak sadari itu
Aku sungguh tidak menyalahkanmu.
Karena beberapa hal memang tidak bisa dipaksakan.

Nanti terbit matahari.
Kemudian terbenam lagi.
Ini memang siklus. Serupa hukum alam.
Nanti kau lukai hati.
Kemudian sakit sendiri.

Kupikir sudah selesai semuanya.
Aku bisa bangun dari tempatku sekarang.
Untuk kemudian aku memilih tertidur.
Jangan ingatkanku tentang kamu lagi.
Kamu sudah lenyap bersisa abu yg kubakar sedari tadi.

Tagged ,

Kutanggalkan Egoku Jauh Di Dasar Sana

Berjalan penuh semangat
Sebentar lagi datang hasrat
Saling buai erat

Kita sama – sama sadar dosa ini bergerak kian dekat
Tapi sungguh meniadakanmu sungguhlah berat
Aku acuhkan rasa malu, bibirku membiru.

Ruangan ini jadi bukti
Jadi saksi bisu dulu pernah ada aku
Peduli apa harus kutahan ragu
Kuusap peluh di pelupuk matamu
Berharap kornea mu ada aku

Aku sudah mati rasa
Jadi kamu tidak usah khawatir ada cinta disana

Museum

“Kita akan bertemu lagi disini

Satu tahun dari sekarang

Tepat di tempat ini ya”

Begitu kamu bilang, satu tahun lalu.

Tapi aku disini malah sendiri

Sebelumnya duduk di bus 34 arah semanggi.

Tapi kali ini tidak ada Car Free Day, jadi bus tidak harus berbelok memutar arah.

Tak lama lagi sampai. Ah tapi kau juga tak berdiri disana menungguku.

Buat apa aku terburu – buru.

Berhenti di depan halte ini, rasanya asing.

Kemudian ikut orang – orang berdiri menunggu bus datang. 

Ke arah kota tua, itu memang yang kutuju.

Kamu tau ak sungguh mencintai museum. 

Sejarahnya, bangunannya, atmosfernya. 

Seperti membawa kembali ke masa lalu.

Ya,seperti yang aku lakukan disini sekarang.

Duduk di barisan panjang seperti dulu.

Dan kamu berdiri disana menatapku hingga kita sampai.

(Padahal ada tempat duduk kosong disampingmu).

Aku rasa kamu memang sengaja memilih berdiri untuk memastikan aku aman.

Untung saja kamu tidak melihatku tersenyum – senyum dibalik masker yang kupakai.

Ah tapi itu dulu.

Museum pertama, Fatahillah.

Tidak terlalu ramai, karena ini bukan akhir minggu.

Bangunan dua lantai ini, lantai pertama berisi replika – replika prasasti, perahu, maket gedung, dan perkakas. 

Sedangkan lantai dua, berupa perabot rumah tangga yang digunakan semasa pemerintahan Belanda.

Sedikit aneh rasanya.

Museum kedua, Wayang.

Aku perlahan menyusuri lagi ratusan atau bahkan ribuan wayang dalam etalase kaca. Menatap kosong. Dingin. Seperti tatapanmu terakhir bertemu.

Museum ketiga, Bank Indonesia

Agak jauh memang harus berjalan ke arah Selatan.

Isinya sejarah dunia perbankan di Indonesia (kalau kalian mau tau)

Aku diam, kemudian menutup mata.

Kurasakan derak lantai yang bergerak di bawahku.

Bunyi berisik anak kecil berlari di sekelilingku.

Terpaan dingin ke arah muka ku.

Dinding yang seakan bergerak maju menghimpitku.

Haru suasana kala itu.

Pengap, seakan silih berganti ingin mengejek kesendirianku.

Ada museum keempat, tapi aku lupa namanya

Mungkin kamu mau bantu mengingatnya?

Bertemu, lalu duduk dengan 2 cangkir di meja kita dan 2 bungkus rokok yang berbeda? 

Kemudian mencoba mengingat bersama semua hal yang jauh di belakang sana.

Seperti waktu itu lagi.

Aku ikat tali sepatuku yang lepas, 

Merapihkan rambut dan jaket ku.

Kupakai maskerku. Sudah siap.

Menuju jalan pulang, ke depan.

Sesekali menengok ke belakang.

Jangan Mati Rasa

Lembar buku yang kurobek tadi pagi
Isyarat tentukan mana yg lebih dulu ku buat mati
Bukan, bukan perihal jiwa yang kubahas sedari tadi
Tapi atas nama harga diri

Aksara demi aksara
Maksud yang berjejal ingin tampakkan muka
Lupa mana palsu dan nyata
Serupa tapi sungguh beda

Radio masih memutar lagu yang sama
Tidak hening, tapi tak juga bising

Ruangan ini sangat asing

Listening to Metallica – Seek and Destroy

Dieng, 16 Agustus 2014

IMG_6942

IMG_6951

Puncak Sikunir,
Dataran Tinggi Dieng – 16 Agustus 2014

Jam 3 dini hari
Memaksa bangun dengan satu dua batang rokok
Aku tarik napas panjang
Kuhembuskan pelan
Sesak saking dingin
Melemahkan setiap sendi
Ikuti jalan
Ditemani lukisan Maha Kuasa;

Biar sedikit kugambarkan untuk membuatmu terang
Langit penuh bintang, kabut, harum tanah, gesekan daun, bunyi deru angin dari perjalanan yang kian menanjak, mata bengkak dalam usahanya yang keras melihat dalam gelap, nafas yang tersengal dan harapan yang masih tertinggal.

Di kaki bukit kita tundukkan kepala
Berdoa dalam diam
Menyusuri jalan setapak
Selangkah demi selangkah
Ada titik – titik terang kecil terlihat di kejauhan
Kota Wonosobo dari hampir setengah perjalanan ke puncak
Sedikit lagi sampai
Negeri Di Atas Awanmu, Tuhan

Sudah terlihat banyak orang
Berdiri menatap takjub ke segala penjuru

Tuhan, kita sampai!
Puncak Sikunir, Dataran Tinggi Dieng
Menunggu matahari terbit dengan segelas kopi dan 2 teman terdekat
Sungguh, aku merasa kecil di hadapanmu Tuhan,
Paduan kawan lama; gunung, awan, kabut, bulan dan bintang

Matahari malu – malu muncul dari ufuk timur
Senandung haru atas kebesaran-Mu yang tak terukur
Dieng – 16 Agustus 2014, aku mengucap syukur